Saturday 21 December 2013 2 comments


"Panggil Aku, Ibu!"
By. Ning Sehati

     



           Waktu telah menunjukkan lepas Isya' ketika aku memutuskan untuk meninggalkan Causeway Bay. Libur kali ini telah kuhabiskan dengan menghadiri beberapa pertemuan. Penat juga jalan sana-sini. Hujan rintik-rintik di bulan Desember semakin menambah dingin suasana. Baju hangat yang kukenakan tak cukup membuat tubuh mungilku merasa nyaman. Ditambah lagi dengan kepadatan pejalan kaki yang membuatku enggan untuk membuka payung. Akhirnya bus yang akan membawaku pulang ke kawasan ujung pulau Hong Kong sampai juga. Lega ketika tempat favoritku, pojok belakang masih kosong. Fffffuuuuiiihhh... 

           Perjalanan berjalan lancar, alhamdulillah terbebas macet kota. Setengah jam waktu yang ditempuh bus cukup membuatku sejenak melelapkan mata.  Ramai kawan-kawan sesama BMI yang asyik berbincang mengenai minggu mereka, tidak membuatku tertarik untuk gabung. Padahal biasanya aku jenis yang supel, tapi kali ini aku benar-benar ingin 'tenang'. Bahkan ketika sampai pada halte terakhir sebelum bus masuk terminal Kennedy Town pun, aku masih memilih untuk diam, hanya membalas senyum-senyum yang sempat menyapa. 

             Bruuuuuukkkk!
        Tiba-tiba seseorang menubrukku dari arah belakang tatkala kakiku baru saja menginjak bumi. Hampir saja aku terjatuh pada genangan air bekas hujan seharian tadi.

"Maaf, Mbak!" suara seorang wanita mampir ditelingaku.

"Eh... Nggak pa-pa koq," jawabku sambil tersenyum. "Pulang libur juga ya?" tanyaku iseng.

"Iya. Mbak tinggal dimana?" wanita itu berbalik menanyaiku.
"Tuh!" tunjukku pada sebuah bangunan tertinggi yang berada di kawasan ini.

"Wah... sama donk. Saya juga dah hampir enam tahun tinggal disitu, tapi koq ndak pernah lihat muka sampeyan toh?" 

"Saya baru enam bulan kerja disini," jawabku jujur. 

"Kita duduk di taman dulu yuk, Mbak!" ajak si mbak padaku.

"Boleh, mumpung masih ada satu jam nich," ujarku sembari melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kananku.

"Enam bulan lalu sampeyan pas pindah sini, mungkin pas saya cuti pulang Indonesia, Mbak," kata si mbak begitu kami menemukan sebuah kursi kayu yang agak kering dan memutuskan untuk duduk disitu. 

"Wah... saya belum cuti, kemarin finis majikan lama, langsung masuk sini dan hanya jutking ke China saja bareng rombongan," ujarku mulai mengakrabkan diri. "Gimana kabar orang rumah, Mbak?" tanyaku.

"Hmmm..." si mbak menghela nafas panjang. Lalu ia mengeluarkan sebuah tab dari dalam tasnya. "Cakep ya, Mbak?" tanyanya padaku seraya menunjukkan foto seorang bocah lelaki berwajah blasteran.

"Banget, Mbak," jawabku dan refleks menoleh ke arahnya. Jauh karena si mbak ini berwajah biasa saja, sama sekali tidak ada kemiripan.

"Anak saya. Bapaknya bule Prancis," si mbak tersenyum getir.

"Oh..." pantesan, pikirku sambil tersenyum dalam hati.

"Dia panggil saya 'tante'..." si mbak mulai sesengrukan, menangis.

"Lho kenapa begitu, apa Mbak tinggalin dia pas masih bayi sehingga nggak sempat mengenali Mbak sebagai ibunya?" tanyaku mulai penasaran.

"Ah... panjang ceritanya."

"Kalau Mbak nggak keberatan, saya masih ada waktuntuk mendengarkan."

"Sekitar tahun 2004, saya kerja di Jakarta, di sebuah cafe yang cukup terkenal. Disanalah saya mengenal bule itu. Hubungan kami begitu manis pada awalnya, sampai ketika saya mengandung lima bulan, tiba-tiba saja saya dapat bill credit card dia dalam jumlah besar. Saya coba nge-cek, ternyata pembelian perhiasan wanita," si mbak berhenti sejenak untuk menyeka air matanya. "Hati saya mulai ndak enak. Maka saya pun memutuskan untuk menyelidiki, mencoba mencari bukti atas dugaan yang terlintas di benak saya."

Gerimis mulai berhenti mengguyur, hanya tertinggal angin laut belakang flat yang menyapa seolah hendak membawa pergi cerita duka ini bersama hembusannya.

"Dan benar saja. Suami saya itu ada simpanan, seorang 'wanita nakal'!"

"Wah!" aku berpura-pura kaget, dalam hati kecilku berkata, 'sudah biasa yang model begitu, Mbak'.

"Akhirnya kami gaduh, saya memutuskan untuk pergi meninggalkan apartemen yang dia sewa. Dengan sedikit tabungan, saya memilih lari ke pinggiran Jakarta. Dalam kebingungan dan keputusasaan, saya sempat berpikir untuk bunuh diri," si mbak kembali terdiam beberapa saat, mungkin tengah berusaha menenangkan hatinya yang ku yakin saat ini kembali terkoyak karena harus mengingat peristiwa pahit dalam hidupnya.

"Sampai saya bertemu dengan dua orang pemuda Timor Leste yang kemudian menunjukkan pada saya sebuah rumah yang tengah disewakan, kebetulan bersebelahan dengan tempat tinggal mereka."

"Alhamdulillah..." 

"Mereka begitu baik, selalu membantu saya. Apalagi saya banyak dapat kabar, mantan suami saya sedang sibuk mencari saya untuk mengambil anaknya, bayi yang ada dalam perut saya."

"Mungkin dia mau bertanggungjawab..."

"Tidak! Dia mau membawa anak saya pulang ke negaranya, karena dia hanya memegang visa kerja saja."

"Waduh!"

"Atas saran kedua pemuda Timor Leste, akhirnya saya menyerahkan anak saya kepada mereka berdua untuk diadopsi, persis setelah anak saya lahir ke dunia ini."

"Bisa emang? Kan proses adopsi nggak mudah, Mbak," tanyaku bingung.

"Mereka berdua itu bukan orang biasa, Mbak. Mereka orang kaya dan punya pengaruh, masih ada hubungan saudara dengan salah seorang suami artis tanah air yang terkenal itu."

"Baguslah kalau begitu," aku tersenyum lega.

"Hanya itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan darah daging saya, karena pasti saya tidak akan bisa berjumpa dengannya lagi kalau sampai mantan saya berhasil membawanya pulang ke Perancis sana."

"Anak laki-laki sebagai penerus..." kalimatku terputus. 

"Dan pulang cuti kemarin adalah pertama kali saya ketemu dia setelah hampir tujuh tahun. Saya bahagia melihat hidupnya serba kecukupan, bahkan boleh dibilang lebih. Tapi yang menyedihkan adalah ketika dia panggil saya 'tante', hati saya terguncang, Mbak," tangis si mbak semakin pecah.

"Sabar, Mbak! Suatu hari nanti dia pasti akan mengerti..." aku mencoba menghibur, meski tiba-tiba saja hatiku merasa seperti disayat-sayat oleh silet tajam.

"Ya, Mbak. Kehidupun saya saat usia muda dulu penuh kejayaan, foya-foya, hiburan dan dunia malam. Tapi ternyata sangat menjerumuskan."

"Jadikan pelajaran..."

"Sekarang kerja sebagai pembantu rumah tangga, saya merasa lebih mulia, meski gaji yang saya dapat delapan tahun yang lalu, lebih dari gaji sekarang."

"Disyukuri, Mbak!"

"Saya juga trauma kenal lelaki bule, Mbak. Apalagi di tempat kita banyak banget bule yang tinggal. Sakit hati banget setiap ingat mantan," si mbak nampak geram.

"Kan nggak semua bule seperti mantan Mbak itu," 

"Tahun depan saya mau pensiun dan pulang kampung. Ada lelaki biasa yang sudi menjadikan saya istri di usia saya yang hampir mendekati kepala empat ini."

"Alhamdulillah..." aku tersenyum mendengar ada secercah asa terlontar dari kalimat si mbak. "Eh, dah hampir jam sembilan nih, kita naik sekarang yuk!" ajakku sambil melirik jam tanganku.

"Mbak duluan deh, saya mau telepon dulu."

"Ok. Assalamu'alaikum, Mbak," salamku tak berbalas. Entah mengapa... "Berdoalah agar kelak anak Mbak bisa memanggil Mbak 'Ibu'!" sambungku.

Lekas-lekas kukemasi barang bawaanku dan dengan langkah gontai beranjak pergi meninggalkan si mbak duduk sendiri. Tiba-tiba pelupuk mataku terasa panas. Hatiku bergelora. Segala macam rasa tak nyaman bertubi-tubi datang menghantamku. 

Aku pikir selama ini diriku adalah ibu yang paling menderita, tapi ternyata ada yang lebih menderita lagi. Tidak kemarin, tidak hari ini, tapi nanti suatu hari nanti, in shaa Allah, aku akan disatukan kembali dengan anak-anakku, buah hatiku yang kini terpisah oleh jarak dan waktu. Apapun masalah yang tengah kuhadapi, aku yakin Allah ada bersamaku, menguatkanku :-)



"Ya Allah, Ya Rahman Ya Rahiim, jagalah anak-anakku karena hanya Engkau-lah sebaik-baik Pelindung. Aku pasrah menitipkan mereka dalam kasih-Mu. Ampuni aku yang belum lagi mampu menjaga amanah-Mu dengan baik... Ampuni aku, Ya Rabb!"




Semoga Allah memberiku kesempatan mendengar panggilan 'Ibu' terlontar dari mulut anak-anakku, ditujukan kepadaku, bukan pada wanita lain yang kini tengah mengasuhnya. Aamiin.




- T a m a t -

















 
;