Saturday 24 May 2014 0 comments

Antologi 'Aku, Sang pengkhianat!'




Judul : Aku, Sang Pengkhianat
Pengarang : Authar Andrean, Rela D'JavaBeauty, dan ECA Lovers
Ukuran : 13 cm x 19 cm
Tebal : vi + 124 halaman


Sinopsis :

"Marni?!" terdengar suara dari depan pintu kamar dan aku mengenal suara khas itu.
"Iya Mas, aku Marni!" Aku tersenyum melihat dia salah tingkah.
"Kenapa, Mas? Kaget?"
"Iii .... Iniii ...." suaranya terbata sambil menunjuk perempuan di sampingnya.
"Rayana? Iya, kan?" potongku. "Sudah, mas. Aku sudah tahu. Sebelumnya aku tak pernah percaya akan semua cerita tentangmu dari para saudara kita, bahkan dari Rena. Makanya aku pulang tanpa sepengetahuan siapa pun. Sekarang semuanya terbukti!" Aku menghela napas.
Mas Abas dan wanitanya tersentak kaget, tak mampu menjawab sepatah kata pun.
"Sudah berapa bulan jabang bayinya?" tanyaku.

Cuplikan “Doa untuk Dosamu”

Bram tersenyum segera menghampirinya. Waw … darah dalam tubuhku mengalir begitu cepat seirama dengan denyut jantung. Semua makhluk dalam tubuhku berontak saat makanan demi makanan disuapkan.
Perasaan ini muncul lagi. Ada yang aneh saat mata mereka saling pandang. Apa benar dia sepupunya? Ataukah dia itu …? Beribu tanya berkecamuk dalam otakku. Namun, seketika luruh saat Bram meyodorkan buku menu dinner.
"Ahh… mungkin ini hanya rasamu yang tak mau kehilangannya!" bisik malaikat kecil untuk menenangkan batinku. Menghargai siapa pun yang menjadi tamu adalah kewajiban antar umat dan aku akan menjalankan itu.

Cuplikan “Kejutan Rasa”

Ade Juni - Adinda Iik Zakiah - Ahmad Ali Ashshidiqi - Arishi - Bunga Sholekha - Citra Nurkusumaningtyas - Ning Sehati – Fathorrozi - Gusti Trisno - Hastira Soekardi - Hasvirah Hasyim Nur - Hikari Kagawa -
Iin Nur Laili - Islah Wardani - Lenni Ika Wahyudiasti - Lestari Al Fatih - Meiga Lettucia - Meykke Santoso - Milie Alqiyya - Mini Yasa - Muh. Ikrimah - Munika Duri - Nidhom VE - Noor Salamah - Nur Fajrina Rakhmawati - Nurlaeli Umar - Rere Zivago –Rikuba - Sinar Rembulan - Tri Adnan - Vinnie Twin Saddew
Friday 23 May 2014 0 comments

Antologi 'Aku dan Mertua'





Judul Buku : "Aku dan Mertua"

Penulis : @bianglalahijrah, dkk
Desainer Cover : Nuansa Embun Senja


Aku dan Mertua menurut mereka... :

Apakah benar bahwa mertua selalu menjadi ancaman bagi kehidupan rumah tangga? Melalui antologi "Aku dan Mertua" ini, kita akan melihat sisi-sisi lain dari kehidupan rumah tangga yang melibatkan mertua. Dan saya sarankan teman-teman untuk membacanya, bahkan kalau perlu, silahkan sebarkan cerita ini, agar lebih banyak orang yang tahu bahwa mertua tak selalu menjadi ancaman.” (Mira Sahid - Founder Kumpulan Emak Blogger)

Potret menarik dari pengalaman yang tertulis dalam buku ini, bahwa hubungan “aku dan mertua” adalah seni tersendiri yang sangat menarik. Para penulis menunjukkan bagaimana mengelola kekuatan emosional dan kesadaran spiritual menjadi kekuatan seni relasi antara “aku dan mertua”, yang sebagian harus melalui perjuangan, tidak sekedar menerima dari langit.” (Bunda Zakyzahra Tuga, Penulis dan Owner Sanggar Kepenulisan Pena Ananda Club)

Buku FTS "Aku dan Mertua" ini dapat menginspirasi Anda untuk melakukan hal yang terbaik buat mertua Anda! Maka, baca dengan hatimu...!” (Haidar Hibsy Ifala, Penulis Novel "Merintihlah dalam Tahajjudmu”)

Dalam FTS Aku dan Mertua ini akan ditemukan aneka warna kehidupan rumah tangga berkaitan dengan sang mertua, menjadikan pembaca akan asyik membaca terus sampai tamat dan mengambil hikmah dari setiap cerita yang disajikan.” (Rani Iriani Safari, Penulis)



Yuk dapatkan manfaat dari buku ini : )
Monday 19 May 2014 2 comments

Pengkhianatan Terakhir







Dalam suatu perjalan di senja yang masih menyisakan sedikit pesonanya, duduk dua akhwat berdampingan di depan Hawa.

"Gimana bisa tau watak dia dengan baik kalau nggak boleh pacaran, Mbak?"

"Kirim utusan untuk mencari tahu tentang bagaimana dia yakni bisa diketahui dari keluarga dan kawan-kawan dia!"

"Gimana itu?"

"Bagaimana cara keluarga mendidik dan membesarkan dia, kelak akan sangat berpengaruh ke cara dia mendidik dan membesarkan anak-anakmu."

"Lalu, yang kawan-kawannya itu?"

"Karena bagaimana kawanmu (pergaulanmu) maka begitulah kamu!"

"Tapi... rasanya kurang sreg kalau nggak mengenal dekat dia langsung, Mbak."

"Kamu masih nggak yakin kalau Allah lebih tahu apa dan siapa yang paling baik buat kamu?"

"Bukan begitu..."

"So what?"

"Bagaimana kalau setelah menikah (tanpa didahului pacaran) pada akhirnya cerai juga?"

"Karena itu sebaik-baik cara menjemput jodoh adalah dengan mempersiapkan dirimu sebaik mungkin. Jadikan dirimu wanita yang kuat dan hebat. Karena siapapun calonmu nanti, dia hanya manusia biasa yang tak sempurna, tentu ada kekurangan disana-sini."

"Tahu..."

"Jangan lupa janji Allah, laki-laki yang baik untuk wanita yang baik..."

Tak sadar Hawa ikut manggut-manggut.

"Aku tak yakin mampu putus darinya, Mbak!"

"Tapi kamu lebih yakin bahwa esok masih diberi umur panjang sedang malaikat maut senantiasa datang melawatmu..."

"Ya Allah!"

"Maka cinta mana yang lebih kamu beratkan, cinta Allah yang begitu Agung dan Sempurna atau cinta pacar kamu yang entah gimana kedepannya nanti... masihkah sama ataukah berubah... time changes, people changes!"

"Lalu aku mesti bagaimana ini?"

"Kamu masih boleh mencintainya. Asal..."

"Asal apa, Mbak?"

"Jangan biarkan dia terus menyentuh jiwa dan ragamu sampai dia syah melafalkan ijab qabul di depan ayahmu."

"Akad nikah?"

"Tapi untuk saat ini kondisi kami berdua sama-sama belum siap untuk hidup berumahtangga..."

"Dan kamu tentu tak siap juga untuk menanggung segala akibat kelak di hari pembalasan yang lebih abadi, kan?"

"Astagfirullaah hal adzim!"

"Adek, when you love someone, you really get to learn to let him go, if he does really made for you, however, Allah will lead his heart come back to you. But if he doesn't, means that he isn't your trully soulmate!"

"Berat, nggak mudah, Mbak! Kami sudah lama dekat..."

"Satu lagi, adekku sayang, Allah itu pencemburu, masih tak sadarkah dirimu, mencintai seseorang yang belum halal untukmu sama saja dengan mengkhianati-Nya!"

Plakk!!

Cukup sampai disitu, Hawa bergegas turun dari bus yang semestinya akan membawanya datang ke suatu tempat dimana dia berjanji untuk bertemu dengan kekasihnya disana.

Tidak hanya kuping, wajahnya pun terasa panas seketika. Kalimat terakhir itu benar-benar serasa menamparnya!

'Maaf, Mas! Kalau boleh saya meminta untuk yang terakhir kali, segeralah datang menemui waliku untuk mengkhitbahku. Jika Mas masih memberi janji-janji, mungkin lebih baik kita sudahi saja hubungan kita!'

Sebuah pesan tanpa basa basi terkirim ke nomer Adam, seorang lelaki yang telah setahun ini dekat dengan Hawa.

'Ya, aku harus tegas mengambil keputusan. Aku tak ingin terus terlena dalam fatamorgana kepalsuan dunia.

Karena aku tak ingin lagi mengkhianati cinta Allah. Cinta yang masih memberiku jedah untuk menikmati keindahan cinta-cintaNya yang lain. Cinta yang Suci tanpa noda. Cinta yang lebih pantas untuk kuperjuangkan dan ku-setia-i. Cinta yang menggenggam hatiku dan hati Mas Adam!'

Sayup-sayup terdengar panggilan-Nya. Hawa tersentak dan bergegas berlari mencari arah suara. Dia terlupa untuk menunggu balasan pesan dari Adam. Dia sudah tak terlalu peduli lagi. Karena yang memenuhi hati dan pikirannya saat itu hanya Rabb yang telah menjadikannya ada di muka bumi ini.



Sementara itu di sebuah rumah makan yang asri di kawasan pinggiran kota, nampak duduk bercengkerama Adam bersama orang tuanya dan Pak Ahmad yang tiada lain adalah ayah Hawa.

Ya, hari itu Adam memutuskan untuk pulang dari bekerja di luar negeri dan mengundang Pak Ahmad untuk meminta dengan resmi putri tercintanya itu.

Meski hubungan jarak jauh, tanpa ada sentuhan fisik, Adam merasa tersiksa dan sangat berdosa karena telah berani menyentuh dan menodai jiwa Hawa.

Cukuplah setahun berkalang dosa. Harus segera diakhiri dengan menghalalkan hubungan meski menanggung resiko kehilangan pendapatan puluhan juta rupiah!

Adam yakin, cinta Allah akan memberinya kecukupan untuknya, Hawa dan calon buah hati mereka nanti.

Sebuah KUA yang berada tepat di sebelah rumah makan, nampak mulai ramai dihadiri beberapa handaitaulan dari belah keluarga Adam. Persiapan hampir seratus persen, tapi sang calon mempempelai wanita masih juga belum nampak batang hidungnya.(*)
Sunday 11 May 2014 2 comments

Kartini itu Emakku!

Kartini itu Emakku!
Oleh. Ning Sehati


Victoria Park masih lengang pagi itu, hanya terlihat beberapa manula yang tengah melakukan olah raga ringan secara berkelompok di beberapa sudut lapangan. Suasana awal tahun dengan suhu rendah berkisar 15 derajat celcius, mereka tetap semangat menjaga kebugaran tubuh. Hari Sabtu memang tak banyak teman-teman buruh migran Indonesia yang libur seperti pada hari Minggu. 

Dan hari itu aku sengaja minta ijin majikan untuk ganti hari beristirahat. Kalau bukan karena Emak yang memaksa, aku sebenarnya lebih suka menghabiskan hari libur nongkrong bareng sahabat-sahabatku, jalan-jalan cuci mata keluar masuk pertokoan besar yang banyak tersebar di Hong Kong ini atau mengunjungi tempat-tempat eksotik yang bertebaran di seantero negeri beton. Kami lima bersahabat, memiliki hobi sama, shopping dan traveling. Dua hal yang selalu membuat Emak gerah dan tak henti-henti ngomel dan berpetuah ini itu, membuat panas kupingku!

Beep… beep…

‘Dimana, Nduk? Emak di bawah jembatan bundar ini…’ sms masuk dari Emak.

Enggan membalas, aku langsung saja dial nomer Emak.

“Emak tunggu situ saja ya, Enggar jalan kesitu, lima menit sampai deh.”

Klik.

Aku bergegas membereskan koran lokal gratisan yang belum habis kubaca dan segera berlari kecil menyusuri trotoar Sugar Street yang mulai terlihat di sana-sini wajah-wajah alami sawo matang khas kulit Jawa. Hehe…

***

“Lho… lho… lho… eiiiit… eiiiiit… tunggu, Mak!” aku menahan lengan Emak sebelum tubuh tambunnya memasuki sebuah pintu kaca flat di lantai dua gedung tua yang berlokasi di seberang Leighton Road.

“Ayo masuk, Nduk!” Emak mencoba melepaskan pegangan tanganku.

Sebuah stiker papan nama berukuran besar, tertempel di pintu itu. Benar-benar buatku terperanjat. Ada urusan apa Emak datang ke tempat ini?

“Walah… malah bengong kamu ini! Ayo temani Emak masuk!”

“Tapi, Mak…”

Belum sempat kuakhiri kalimatku ketika pintu terbuka setelah Emak menekan bel dua kali. Seorang wanita berkulit putih dan bermata sipit tersenyum ke arah kami. Ramah ia mempersilahkan kami masuk.

“Come in, please!”

“Thank you,” Emak menyahut malu-malu.

“Ada yang bisa saya bantu, Bu?”

Staff berkebangsaan Tionghoa itu memberikan isyarat kepada kami untuk duduk.

“Oh yes… yes…”

Emak mencolek pinggangku, menyadarkanku dari keterkejutan. Ya, aku masih tidak mengerti dengan semua ini.

“Nduk, tolong kamu kasih tau Siuce kalau Emak mau daftar sekolah,” Emak berbisik di telinga kananku sembari telunjuknya mengarah pada selembar brosur yang menumpuk di atas meja kerja.

Hah?

Emak ingin sekolah jurusan Bahasa Inggris?

Aku semakin terperanjat. Bagaimana tidak, usia Emak sudah lebih dari empat puluh tahun, untuk apa coba beliau mau bersusah-susah mempelajari bahasa asing nomer satu di dunia ini. Seingatku majikan Emak juga bukan keluarga bule. Dan lagi anak majikan sudah besar, tidak perlu diajari Bahasa Inggris seperti yang kulakukan pada anak majikanku yang masih berumur tiga tahun.
Akhirnya setelah sempat sedikit bersitegang, aku memilih mengalah dan membantu Emak mengisi selembar formulir pendaftaran. Meski dengan berat hati!

***


Empat Tahun Kemudian

“Minggu ini kamu libur kan, Nduk?” suara Emak terdengar agak berbisik di seberang.

“Emang kenapa, Mak?” tanyaku sembari membetulkan letak headset yang kupasang asal di telinga.
Hari beranjak petang, kesibukan di dapur menyiapkan menu makan malam untuk keluarga majikan, membuat kedua tanganku sangat sibuk.

“Temani Emak bisa?”

“Kemana?”

“Kalau kamu libur, Emak tunggu jam 9 pagi di depan Regal Hotel ya…”

Klik.

Emak menutup telepon begitu saja, tanpa menunggu jawabanku. Mungkin ada majikan di sekitar dia. Ah, beginilah susahnya kerja ikut orang, mau ngobrol sama keluarga sendiri pun kadang masih harus mencuri waktu. Padahal tidak setiap hari kami berbincang lewat udara.

Semenjak memutuskan untuk menjadi seorang mahasiswa, Emak semakin sibuk dan jarang sekali mengajakku libur bersama sekedar duduk-duduk di tengah lapangan rumput Victoria Park, menikmati masakannya yang sedap. Terakhir aku dengar kabar kalau di samping kuliah, Emak juga aktif di sebuah perkumpulan. Pernah sekali waktu Emak mengajakku gabung, tapi dengan berbagai alasan yang kubuat-buat, aku menolaknya. Selain segan dengan sahabat-sahabatku, aku juga kurang sreg dengan acara-acara seperti itu. Nggak seru banget kan libur hanya duduk seharian?

***

Emak?

Aku tercengang melihat penampilan wanita yang dua puluh lima tahun lalu itu telah melahirkanku ke dunia ini, memberiku peluang untuk menikmati indahnya alam ciptaan Tuhan. Dari jarak sekian meter kulihat Emak begitu lain dari biasanya. Dandanan Emak nampak tak sepolos biasanya. Begitupun dengan beberapa teman lain yang asyik ngobrol bersamanya. Cantik-cantik dalam balutan kebaya nasional. Ehmmm… aku jadi penasaran, ada acara apa sebenarnya mereka.

“Maaf, Enggar telat, Mak,” ujarku ketika langkahku terhenti tepat di depan Emak. “Si kecil rewel nggak kasih Enggar libur,” lanjutku.

Kulirik jam tangan di pergelangan tangan kanan, sudah hampir jam 10. Aku terlambat hampir satu jam dari waktu yang diminta Emak.

“Ayo buruan kita masuk, acara sudah dimulai…” Emak menyeret tanganku, tak memberiku kesempatan untuk bertanya.

Memasuki ke dalam sebuah ruangan berukuran cukup luas dan nampak elegan, telah ramai kawan-kawan sesama buruh migran Indonesia duduk hampir memenuhi semua kursi yang tersedia. Dari pakaian yang dikenakan mereka, akhirnya aku tahu ada acara apa hari ini.
Satu per satu rangkaian acara berlalu, hingga tiba acara puncak. Pengumuman wisudawan terbaik. Dan yang terakhir adalah…

“Penghargaan khusus kami tujukan kepada mahasiswa tertua kami yang memiliki semangat dan jiwa muda, tak mau kalah dengan mahasiswa belia lain, dengan perolehan nilai yang cukup lumayan, hadirin sekalian, mari kita sambut bersama, Ibu Kartini…” sang pembawa acara menunjuk ke arah kami duduk.

Seisi ruangan bergemuruh dengan tepuk tangan dan teriakan-teriakan kecil. Emak melirik ke arahku dan lantas berdiri sambil membetulkan busananya. Dengan langkah mantap, Emak berjalan ke atas panggung.

“Terima kasih saya ucapkan kepada pihak yayasan yang telah memberi saya kesempatan untuk menggapai cita-cita saya, mewujudkan mimpi-mimpi saya yang sempat seperempat abad lamanya terpendam bahkan hampir terlukan. Semoga memang tidak pernah ada kata terlambat buat belajar. Dan semua ini adalah buktinya…” Emak tersenyum, melempar pandangan ke arahku. “… selepas ini saya akan pensiun kerja ikut orang dan segera pulang kampung karena di sana banyak hal yang bisa saya lakukan dengan berbagai macam ilmu yang telah saya pelajari selama empat tahun ini. Harapan saya semoga anak-anak yayasan bisa pintar-pintar seperti anak-anak Hong Kong.”

Kembali suasana dipenuhi tepuk tangan para hadirin mendengar kalimat lugu Emak. Sementara aku hanya terpaku di tempat dudukku. Mataku tiba-tiba terasa menghangat. Hatiku bergelora, berbagai macam perasaan campur aduk jadi satu. Bahagia, bangga, malu… Emak yang mantan guru mengaji sebelum datang kerja di Hong Kong beberapa tahun silam, dalam keadaan terpuruk setelah ditinggal bapak kawin lagi, ternyata semangat hidupnya untuk mengabdikan diri pada masyarakat, kian membaja dan tak pernah surut dimakan waktu.

Aku ingat pernah suatu hari Emak berkata kepadaku, ‘Nduk, simpan uang kamu baik-baik ya, karena mungkin Emak nggak bisa kasih kamu warisan apa-apa nanti…’ Ternyata selain untuk membiayai kuliahnya, uang gaji Emak selama ini dimanfaatkan untuk mendirikan sebuah yayasan belajar untuk anak-anak kurang mampu yang ada di desa kami dan desa-desa lain sekitarnya. Meski baru dan masih dalam tahap merintis, tapi Alhamdulillah semua berjalan lancar. Emak tak pernah kekurangan, apalagi sampai harus berhutang pada bank. Kadang aku heran, bagaimana Emak bisa mengatur keuangannya dengan baik. Tak seperti aku yang sering gali lobang tutup lobang. Awal bulan terima gaji, pertengahan bulan sudah terasa kembang kempis. Hehe…

Ah, Emak, pantesan saja Emak tak pernah membantuku di kala aku kehabisan uang di setiap akhir bulan. Aku sering ngambek bahkan sempat menjuluki Emak pelit. Ternyata semua itu Emak lakukan dengan tujuan tidak ingin memanjakan diriku, anak semata wayangnya. Tiba-tiba kelopak mataku terasa menghangat, dan tak berapa lama butiran-butiran kristal menetes dari keduanya. Aku sangat terharu menyaksikan dari jauh Emak dipeluk bergantian oleh para mahasiswa dan pengurus yayasan.

‘Emak, maafkan anakmu ini yang telah salah menilai perjuanganmu selama ini. Aku anakmu yang semestinya mendukungmu tapi malah meremehkanmu!’

Aku benar-benar merasa malu dan merasa tidak berarti apa-apa. Kesempatan untukku belajar dan berkarya masih sangat lebar, tapi bodohnya aku karena telah menyia-nyiakan waktu begitu saja. Bergegas aku bangkit dari duduk dan berjalan cepat ke arah kerumunan mahasiswa berbaju toga.

“Emak, doa, tauladan dan ilmu bermanfaat yang kau tinggalkan untukku adalah lebih dari cukup! I love you full, Emak! I’m so proud of you!” bisikku  di telinga Emak. Kupeluk rapat-rapat tubuh Emak, tak perduli lagi dengan tatapan dan sindiran sinis karena gaya berpakaianku  yang sangat kurang sopan.

“Enggar juga mau jadi mahasiswa seperti Emak!” teriakku  kencang-kencang mengejutkan seluruh hadirin.(*)




Dimuat di Tabloid Dwi-Mingguan ApaKabar Plus Hong Kong Edisi #05 Thn IX * 10 - 23 Mei 2014




Friday 2 May 2014 6 comments

Secarik Rindu dari Bapak






Wahai, Putriku...



Assalamu'alaikum...

Apa kabarmu di negeri orang, sayang?
Baik-baik saja kan?
Jauh di kampung halaman, Bapak senantiasa berdoa untuk kebaikanmu, keberkahanmu, keselamatanmu... Pagi, siang, sore dan malam, tak jemu Bapak lantunkan puji-pujian kepada Allah, agar Dia menjagamu di saat jauh dari jangkauan Bapak.

Putriku sayang, Bapak ingat semasa kecilmu dulu kau begitu lugu dan patuh. Meski besar tanpa belai kasih Ibu, namun kau mampu menjadi gadis kecil yang lincah dan periang. Bapak sangat bangga pada kepintaranmu yang tak kalah dengan kawan-kawanmu yang memiliki ibu.

Hingga saat kau lulus SMA, kau putuskan untuk belajar mandiri. Kau merantau ke Jawa Barat. Bahkan kau juga sempat melanglang buana ke negeri orang. Sampai sekarang setelah sekian tahun, Bapak hanya menghitung sebelah jari saja tentang kepulanganmu mengunjungi Bapakmu yang kian renta ini.

Putriku, rindu memang rindu. Bapak rindu membelai dan membuaimu. Namun gadis kecil Bapak telah tumbuh menjadi gadis remaja 'gaul' yang tak lagi sepolos dan selugu dulu.

Setiap kali Bapak mencoba mengingatkan, jawabanmu selalu sama,

"Tenanglah, Bapak! Ananda mencintai Bapak meski Ananda jarang bisa pulang kampung menjenguk Bapak."

Putriku sayang, Bapak tahu kau mencintai Bapak, orang tua tunggalmu ini. Tapi cinta tak hanya sebatas lewat kata-kata. Bukan kiriman jutaan rupiah yang Bapak harapkan, bukan itu, sayang!

Cintailah Bapak sepenuh hatimu, selagi Bapak masih diberi kesempatan menghirup udara, selagi penyesalan belum menjejali hatimu, sekali lagi Bapak ingatkan,

"Cintailah Bapak dengan sebenar-benarnya cinta!"

Dan seperti biasa engkau akan bertanya balik,

"Cinta yang bagaimana lagi, Bapak?"

Maka kali ini ijinkan Bapak sampaikan yang sebenar,

Bantu Bapak, jaga Bapak dari jilatan api neraka ya...

...

Dengan tetap menjaga kehormatan auratmu agar tak nampak dari mata jalang lelaki yang bukan muhrimmu. Karena Bapak pun laki-laki, Bapak tahu pasti hasrat diri karena bisikan nafsu.

Karena selangkah dirimu keluar rumah tanpa menutup aurat, maka selangkah pula Bapak mendekat ke neraka...

...

Berjanjilah pada Bapak, apapun godaan di negeri orang, kau akan tetap mengenakan jilbabmu itu. 

Hingga suatu hari nanti, Allah berkenan mempertemukanmu dengan lelaki kedua dalam hidupmu yang akan mengambil alih kewajiban dan tanggung jawab Bapak...

Kau selalu cantik dalam mata Bapak... cantik karena kau jaga maruahmu dengan baik... cantik bak mutiara yang tersimpan sempurna dalam balutan jilbabmu, putriku...

Bapak selalu mencintaimu... selalu...




Salam rindu untukmu, Putriku sayang

Ttd.

Bapak
 
;