Murid
dari Alam Lain
Oleh. Ning Sehati
Matahari kian terik ketika langkah Inayah menapak halaman
SDN Penangguhan 1 yang terletak di pedalaman Malang selatan. Senyum getir tersungging
di bibirnya. Miris! Sebuah pemandangan yang menggetarkan jiwa kini tersaji di
depan mata.
Beberapa bangunan kelas yang lusuh, warna cat yang mulai
pudar serta bagian atap yang mengelupas disana-sini. Lantai semen juga banyak
yang rusak berlubang sehingga pelataran sekolah terlihat kotor dengan pasir
yang berserakan. Pepohonan yang tumbuh di sekitar lapangan pun nampak kering
tak terurus.
Suasana begitu lengang. Tak nampak murid berkeliaran.
Sejenak mata Inayah tertuju ke arah sebuah bangunan yang terletak di bagian
paling ujung. Ada papan nama bertuliskan ‘Ruang Guru’ yang menggantung di depan
pintu yang terbuka. Hanya beberapa langkah saja, Inayah telah sampai di depan
pintu.
Seorang wanita setengah baya menyambut kedatangan Inayah.
Setelah berbincang beberapa waktu, wanita itu mengajak Inayah meninggalkan ruangan
guru menuju ruang kelas. Setelah sampai di ruang kelas V, wanita itu memperkenalkan
Inayah kepada para murid sekadarnya.
Dua puluh murid menyambut Inayah dengan ekspresi biasa
saja. Menurut penuturan wanita itu, para murid terlampau jenuh dengan hadirnya
guru baru. Dalam setahun terakhir, Inayah adalah guru baru kelima yang dikirim untuk
mengajar mereka. Entah apa yang terjadi, sehingga keempat guru sebelumnya memutuskan
untuk pergi lebih cepat dari masa perjanjian yang telah disepakati.
***
Hari-hari berlalu begitu cepat, tak terasa delapan puluh
hari sudah Inayah hidup jauh dari peradaban kota. Tanpa internet berarti tanpa sosial
media. Telepon genggam pintarnya lebih banyak tergeletak nganggur di atas
ranjang. Hanya Nokia jadul yang selalu ada di dalam tas kerja. Itupun jarang bunyi
karena jaringan yang sangat buruk.
Kebersamaan bersama para muridlah yang sedikit menghibur
hati Inayah. Kepolosan dan keluguan mereka begitu memikat hati Inayah. Gaya hidup
dan kesederhanaan dalam keseharian mereka begitu berbeda dengan masa kecil
Inayah yang penuh dengan mainan serba canggih. Betapa ia ingat kalau dulu tak
pernah merasakan asyiknya bermain tanah liat, bernyanyi dan menari dalam deras
hujan ataupun serunya bermain petak umpet di tengah perkebunan coklat.
“Ibu Guru!”
Sebuah teriakan kecil tiba-tiba
membuyarkan lamunan Inayah di pagi buta. Seorang anak laki-laki berusia sekitar
sepuluh tahun berlarian tergopoh-gopoh ke arahnya.
“Ada
apa, Pul?” tanya Inayah keheranan menyambut Saipul yang telah berhenti di
hadapannya.
Lelaki kecil itu nampak
sibuk mengatur nafas yang masih tersenggal-senggal. Sesekali punggung tangannya
yang hitam mengusap keringat yang mengucur di dahi.
“Agung, Bu! Agung…!” kalimat Saipul terputus.
“Kenapa dengan Agung, Pul?” keheranan Inayah berubah
menjadi rasa penasaran. “Sini duduk dulu kamu. Ibu ambilkan air putih…”.
“Tidak usah, Bu!” teriak Saipul sambil tangannya menarik
baju Inayah.
Hati Inayah kian tak karuan.
Ditambah melihat wajah Saipul yang tampak pucat pasi. Pasti ada sesuatu yang
telah terjadi, batinnya.
“Ayo, Bu!” tanpa malu-malu Saipul menarik tangan Inayah. “Ikut
saya!”.
Inayah seolah tersihir
keadaan, dituruti saja kemana langkah kaki Saipul membawanya pergi. Sampai ia
terlupa untuk berpamitan kepada Bu Marti, pemilik rumah tempatnya menumpang
tinggal.
***
Seminggu sudah peristiwa pagi buta itu berlalu. Suasana
berkabung masih terasa di antara para murid dan guru. Meski sedih, Inayah
mencoba untuk tampak tegar di hadapan murid-muridnya.
Bangku paling depan kosong. Hendrik yang biasa duduk
bersebelahan dengan Agung, memutuskan untuk pindah ke deretan paling belakang,
mungkin dia merasa kurang nyaman, tiada lagi teman bercengkerama dan berdiskusi
mengerjakan tugas-tugas yang Inayah berikan.
“Ayo anak-anak, masukkan buku kalian ke dalam laci dan
siapkan selembar kertas, kita ulangan hari ini!”
Inayah tersenyum melihat
melihat wajah-wajah kaget di hadapannya. Ulangan mendadak adalah suatu momok
bagi para pelajar. Suasana kelas menjadi ramai dengan berbagai macam keluhan.
“Soal no satu… bla.. bla… bla…” Inayah terus saja melanjutkan
aksinya mendiktekan soal-soal, tanpa mempedulikan kegusaran para murid.
Beberapa
menit kemudian suasana menjadi begitu hening. Para murid telah terbius oleh sepuluh
soal Bahasa Indonesia. Inayah berjalan mondar-mandir di antara bangku-bangku
yang berjejer rapi. Sesekali matanya melirik kertas jawaban mereka. Ada yang sudah
terisi jawaban, ada juga yang masih kosong!
***
Hari telah larut malam, jam dinding sudah mengarah ke
angka sepuluh. Untuk yang kesekian kalinya Inayah menguap menahan kantuk yang mulai
datang menyerang. Beberapa lembar jawaban masih tersisa untuk dikoreksi. Kopi susu
segelas tersisa sekali teguk saja. Gara-gara tadi menemani Bu Marti menemui tamu,
pekerjaan Inayah menjadi agak terbengkalai.
Setengah sebelas, lembar terakhir terpampang di atas
meja. Seketika mata Inayah terbelalak. Ada sesuatu yang janggal pada kertas itu.
Bersamaan itu bau harum menyeruak memenuhi ruangan, padahal kertas itu begitu lusuh.
Tiba-tiba Inayah merasakan bulu kuduknya meremang ketika
semilir angin yang entah masuk dari celah mana, berhembus di telinganya. Suara
binatang malam, jangkrik dan katak, berhenti menyenandungkan pujian kepada Sang
Pencipta. Yang terdengar malah lolongan anjing yang begitu menyayat jiwa.
Seingat Inayah, tak ada tetangga yang memelihara anjing.
Hati Inayah menjadi tak nyaman. Diputuskannya untuk
beranjak dari kursi dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Ditariknya selimut
menutupi seluruh badan. Dibacanya dalam hati beberapa doa yang dihafal, namun
mata yang terpaksa dipejamkan, tetap saja membuat Inayah susah terlelap.
Sekelebat bayangan kertas tadi kembali melintas. Mengerikan dan di luar nalar!
***
Suasana jam istirahat begitu riuh. Murid-murid
bermain macam-macam permainan. Ada juga yang hanya duduk-duduk bercengkerama di
kantin sekolah. Inayah tersenyum menyaksikan pola tingkah mereka. Hari ini
Kamis, ibu guru muda itu tengah menjalani ibadah puasa Senin-Kamis. Ia memutuskan
untuk tetap berada di dalam kelas, menyiapkan beberapa materi pelajaran untuk
jam selanjutnya.
Bukk!
Tiba-tiba
terdengar suara benda jatuh. Inayah terperanjat karena tidak ada seorangpun murid
di dalam kelas. Ia lemparkan pandangan ke penjuru kelas. Kosong. Inayah berdiri
dari duduknya. Dengan langkah mengendap-endap, ia dekati sumber suara. Sebuah buku
tulis tergeletak di atas lantai. Sedikit ragu, dipungutnya buku itu. Betapa
terkejutnya Inayah ketika mengetahui siapa pemilik buku bergambar pemain bola
itu. Sebuah nama yang tak asing tertera di halaman sampul. Sebuah nama yang
telah…
Suara riuh
murid-murid memasuki kelas, mengalihkan perhatian Inayah. Rupanya lonceng tanda
berakhirnya jam istirahat telah dibunyikan. Perlahan rasa takut yang sempat
menjalar, berlalu dari diri Inayah.
‘Lindungi
kami semua, Ya Allah!’ Inayah melantunkan sebuah doa dalam hati.
***
Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiing!
Bel pulang sekolah berbunyi nyaring ketika jam dinding
tepat menunjuk di angka satu. Setelah selesai berkemas, para murid melaksanakan
doa bersama tanda bersyukur kehadirat-Nya atas ilmu yang telah mereka dapatkan
hari ini.
Lalu satu per satu mereka melenggangkan kaki meninggalkan
kelas, hingga tertinggal Hendrik dan Saipul saja. Mereka seolah tengah menunggu
sesuatu. Inayah terus saja memperhatikan gerak-gerik mereka.
“Kalian nunggu apa?” Inayah mencoba bertanya.
“Nih lagi nungguin si Agung ngemasin tas, Bu Guru,” jawab
Hendrik.
“Agung? Maksud kalian Agung yang mana?” Inayah
melemparkan pandangan, hanya ada mereka bertiga di dalam kelas saat itu.
“Agung Laksono, siapa lagi teman kami yang namanya Agung,
kan hanya dia saja, Bu!” ujar Saipul sambil telunjuknya mengarah ke bangku
kosong baris depan.
Inayah mengernyitkan dahi
tak mengerti. Apa-apaan mereka ini?
“Kalian jangan bercanda, Agung Laksono kan sudah
meninggal!” nada suara Inayah meninggi, seiring debur jantungnya yang memburu.
“Agung masih hidup, tiap hari dia bersama kita dalam
kelas ini, ya kan, Pul?” kalimat Hendrik meminta persetujuan Saipul terdengar jujur,
tidak mengada-ngada.
“Betul, Bu. Hanya saja Agung menjadi pendiam sekarang.
Dia memilih duduk sendiri dan meminta Hendrik untuk pindah duduk,” ujar Saipul
serius.
Deg!
Jantung
Inayah seolah hampir lepas dari tempatnya. Ia teringat kertas jawaban ulangan
yang bertuliskan nama Agung Laksono. Ada beberapa bercak noda darah yang telah mongering
disana. Inayah juga teringat saat tak ada angin kencang namun benda seberat buku
bisa terjatuh dengan sendirinya dari atas meja.
Kejadian
pagi itu masih sangat jelas di mata Inayah. Empat puluh hari yang lalu, Inayah
mendapati jasad Agung telah terbujur kaku di tepian jalan. Lelaki kecil sang juara
kelas itu telah meninggal dunia sebagai korban tabrak lari!(*)
1 comments:
Heheh. Bagus.
Post a Comment