Hujan masih saja
mengguyur bumi, membasahai setiap sudut kota. Air nampak menggenang di beberapa
tempat, menyisakan pemandangan yang kurang sedap dipandang mata. Becek!
“Huh!” Pipiet menjerit
kecil.
Sebuah mobil tua melaju dengan kencang melewati gerombolan anak-anak
berseragam biru putih yang tengah berjalan berjingkas menghindari
genangan-genangan air.
Pipiet, seorang gadis kecil berperawakan agak kurus, kembali menggerutu
meyadari rok biru selutut yang dikenakannya kini telah menjadi basah tak hanya
oleh air hujan tapi juga ditambah cipratan lumpur!
“Aduh! Gimana nih?” tanya
Pipiet kepada kawan-kawan yang mengitarinya.
“Waktu kita tidak
banyak, lagipula sekolah juga sudah dekat. Kamu nggak mungkin pulang kembali
dan berganti rok, Piet!” ujar Sella sambil melirik ke arah jam tangan merah
muda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Nanti sampai sekolah,
cukup dibersihkan dengan air bersih. Lama-lama juga bakal kering sendiri koq!”
Mega turut menimpali sambil membetulkan gagang kaca mata yang bertengger menghias
wajah bulatnya.
Dengan wajah yang masih
dilipat-lipat, Pipiet mengangguk saja dengan saran Mega, sahabatnya sejak duduk
di sekolah dasar. Lantas dia segera berlari kecil menyusul yang lain yang telah
menyeberang jalan.
Sebuah bangunan sekolah berdiri megah tak jauh dari situ. SMPN Asah Asih Asuh, tempat Pipiet cs memulai status mereka sebagai pelajar sekolah mengah pertama seminggu yang lalu.
Sebuah bangunan sekolah berdiri megah tak jauh dari situ. SMPN Asah Asih Asuh, tempat Pipiet cs memulai status mereka sebagai pelajar sekolah mengah pertama seminggu yang lalu.
Sungguh awal hari yang menyebalkan!
***
Langit kian gelap.
Hujan yang sempat reda beberapa waktu lalu, kini satu per satu airnya mulai
jatuh kembali ke muka bumi. Pipiet melirik jam tangannya, hampir jam tiga.
Sekolah sudah sepi, kendaraan para guru pun sudah tak nampak berjejer di
parkiran. Mega, Sella dan kawan karib Pipiet yang lain mungkin kini sudah pada
asyik meringkuk dalam selimut mereka, menikmati istirahat siang.
Pipiet sedikit
memanyunkan mulutnya. Apalagi ketika dilihat beberapa kakak kelas yang tadi juga
ikut rapat, cuek bebek kepadanya, tak ada satupun yang berbasa-basi menawarinya
untuk sekedar pulang sekolah bersama.
Dengan langkah gontai,
perlahan Pipiet meninggalkan pelataran sekolah. ‘Sebagai aktivis sekolah, aku
harus mulai bisa sendiri! Ya, harus bisa!’ tekad Pipiet dalam hati. ‘Ah, Mega,
kenapa pula kamu malas kalau aku ajak mengikuti kegiatan!’ Pipiet mengeluh
sambil ujung kakinya iseng menendang sebuah kaleng bekas.
“Auw!!” tiba-tiba
Pipiet menjerit.
Refleks kakinya bergerak mundur beberapa jengkal. Kaleng bekas yang
ditendangnya tadi tanpa sengaja mengenai sebuah motor yang melaju dengan
kecepatan sedang dari arah belakang. Dan sekali lagi, kejadian seperti pagi
tadi, Pipiet terciprat genangan air bercampur lumpur untuk yang kedua kali!
“Aduh, maaf ya, Dek!
Saya beneran nggak sengaja,” sang pengendara motor tiba-tiba sudah berdiri di
depan Pipiet.
Pipiet menggerutu sambil tangannya sibuk membersihkan rok dan kakinya
yang kotor. Tak dipedulikannya permintaan maaf dari lelaki separuh baya itu.
“Nih pake sapu tangan
Om saja, Dek!” ujar lelaki itu sambil mengulurkan sapu tangan warna biru muda
ke arah Pipiet.
Secepat kilat tanpa malu-malu, Pipiet meraih sapu tangan itu dan lantas
dengan sekenanya menggunakan untuk mengelap sepatu hitamnya!
Sang lelaki yang masih setia berdiri memperhatikan gerak-gerik Pipiet,
meringis tipis. ‘Dasar, ABG! Semoga saja kekasih Om tidak mengetahui akan hal
ini!’ batinnya pilu memandangi sapu tangan yang telah berubah warna. Kotor!
***
Petir menggelegar,
memecah keheningan malam. Pipiet terperanjat dari tidurnya ketika tiba-tiba
kamarnya menjadi gelap gulita.
“Mama!” teriak Pipiet
ketakutan.
Sepi, tak ada sahutan suara dari arah luar kamar. Dengan meraba-raba
akhirnya tangan Pipiet berhasil menemukan telepon genggam yang tergeletak di
atas meja belajar. Bergegas dipencetnya angka-angka, diletakkannya telepon
genggam di telinga kanan.
Tuuut… tuuut…
Tak ada sahutan. Bahkan untuk sekian kali panggilan yang Pipiet lakukan
pada sebuah nomer, masih saja tak terjawab.
‘Aduh! Mama kemana sih?’ tanya Pipiet pada dirinya sendiri.
Beep… beep…
Telepon genggam Pipiet bergetar. Sebuah pesan masuk. Bergegas Pipiet
meraih benda kecil yang tadi sempat dilemparkannya begitu saja di atas kasur
lantaran geram.
‘Maaf, sayang! Mama sedang di RS
Bakti Bangsa, tidak bisa menjawab telpon.’
Rumah Sakit? Ngapain malam-malam begini
Mama disana ya? Siapa yang sakit? Mama?
Sekian pertanyaan
bermain-main di benak Pipiet. Dicobanya berkali-kali untuk memejamkan
mata, tapi sia-sia saja karena rasa ngantuk seolah telah pergi entah kemana. ‘Apa yang harus aku lakukan sekarang?’ Hati Pipiet kian resah
tak karuan. Hujan dan Rumah Sakit Bakti Bangsa!
‘Ah, aku nggak boleh diam saja begini. Aku harus mencari tahu apa yang
sedang terjadi!’
Otak cerdas gadis berkaca mata minus dua itu segera bekerja. Disambarnya
jaket yang menggantung di belakang pintu. Dikenakannya sandal jepit yang
teronggok pasrah di sudut ruangan. Dalam keadaan remang-remang, dibongkarnya
isi lemari. Selang beberapa menit kemudian sebuah jas hujan warna kuning muda
telah berada di tangannya. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, bergegas
Pipiet berlari keluar rumah.
***
Hujan deras masih setia
menemani perjalanan Pipiet menuju rumah sakit. Mulut Pipiet tak henti
berkomat-kamit melantunkan macam-macam doa. Tiba-tiba saja hati Pipiet menjadi
sangat tidak enak. Ditambah dengan keadaan jalan yang agak macet, membuat taksi
yang membawanya tak bisa berjalan dengan lebih cepat.
Hujan! Pipiet begitu
membenci keadaan ini. Membuat segala kegiatan menjadi terhambat. Mau ngapa-ngapain
jadi tidak bisa berjalan lancar seperti ketika hari cerah. Belum lagi jalanan
yang menjadi becek atau trotoar yang penuh sesak dengan payung-payung para
pengguna jalan yang dibuka lebar seenaknya sendiri.
Huh!
Hujan juga telah meninggalkan
sebuah kenangan pahit dalam perjalanan hidup Pipiet. Kejadian lima tahun lalu
itu masih terekam kuat dalam memori Pipiet.
Pagi itu langit tengah
mendung. Mas Edo yang kala itu masih duduk di bangku kelas 6 SD, tengah bersiap
untuk mengikuti acara perkemahan. Waktu telah menunjukkan hampir pukul tujuh.
Papa yang terlambat bangun karena semalam pulang kerja menjelang pagi buta,
ikut kelabakan. Tak seperti biasa, entah kemana pergi Pak Har, tukang ojek
langganan yang biasa mengantar Mas Edo dan Pipiet berangkat sekolah.
Akhirnya dalam keadaan
tergesa-gesa, mereka bertiga berangkat meninggalkan rumah. Namun baru sekian
meter mobil melaju, tiba-tiba hujan deras mengguyur. Jalanan menjadi gelap dan
sedikit ricuh.
Beberapa menit kemudia
tanpa diduga dari arah berlawanan muncul sebuah mobil boks yang berjalan
terseok-seok, mungkin karena jalanan yang menjadi licin atau mungkin juga
karena sopir telah kehilangan kendali akibat rem blong.
Braaaaaaaaaakkkk!
Kecelakaan pun tak
dapat dihindari. Mobil yang dikendarai Papa, Pipiet dan Mas Edo tertabrak mobil
boks. Hal terakhir yang Pipiet ingat setelah suara dentuman yang keras adalah
suara jeritan orang-orang yang melihat kejadian itu, selanjutnya entah, Pipiet
tak sadarkan diri.
***
Begitu terjaga, Pipiet
sudah berada dalam sebuah ruangan serba putih. Semerbak bau obat-obatan segera
menyergap hidung Pipiet. Rupanya Pipiet ada di salah satu kamar rawat rumah
sakit.
Papa? Mas Edo? Dimana mereka?
Dalam keadaan setengah sadar, Pipiet merasa kepalanya seperti
berputar-putar. Lantas ia meraba kepala dan tangannya terhenti pada bagian
wajah. Sebuah perban menutup mata sebelah kanannya.
“Pipiet! Kamu sudah
sadar, sayang?” tiba-tiba Mama masuk kamar dan menghambur ke arah tubuh Pipiet
yang tergeletak lemah di atas ranjang.
“Ada apa ini, Ma?
Kenapa mata Pipiet dibungkus begini?” tangan Pipiet menggenggam erat tangan
Mama yang tak kuasa menahan tangis. “Papa dan Mas Edo mana, Ma?” tanya Pipiet
polos.
“Kamu istirahat dulu
ya, sayang! Jangan mikir yang berat-berat dulu!” ujar Mama sambil mengusap matanya
yang sembab. Sejurus kemudia lembut dikecupnya kening sang bungsu.
Pipiet kecil hanya mampu menganggukkan kepalanya yang terasa kian berat.
Selanjutnya Pipiet kembali terlelap.
***
“Mama!” suara Pipiet
tercekat.
Sebuah pemandangan yang sangat mengejutkan hati Pipiet menyambut begitu
pintu terbuka. Dilihatnya Mama tengah memeluk tubuh seorang lelaki yang tengah
berbaring di atas ranjang berseprei putih polos.
Braaakk!
Pipiet membanting pintu dan segera berlari pergi meninggalkan kamar. Hati
gadis muda itu begitu bergemuruh. Ada semacam perasaan tidak suka menyusup ke
dalam hatinya.
Apa-apaan ini, Tuhan?
“Sayang…” tiba-tiba
suara lembut Mama hadir di antara suara hujan.
Tangan Mama mengusap rambut Pipiet yang terduduk dengan kepala
tertelungkup di tepian trotoar depan rumah sakit. Mama mengarahkan payung yang
dibawanya menutupi tubuh Pipiet yang tampak terguncang. Isak tangis Pipiet kian
terdengar nyaring.
“Siapa dia, Ma?” tanya
Pipiet sesaat setalah ia mampu sedikit menguasai hatinya yang begitu gundah.
Lima tahun Pipiet habiskan hari-harinya berdua bersama Mama saja sejak
kepergian Papa dan Mas Edo untuk selama-lamanya akibat kecelakaan hari itu.
Haruskah kini ia rela berbagi kasih Mama? Atau bahkan kemungkinan lebih parah,
sanggupkah ia kehilangan Mama juga?
“Namanya Om Tegar. Dia
kawan kuliah Mama dulu. Kami berjumpa kembali setahun yang lalu di acara reuni
akbar kampus…” Mama diam sejenak, menghela nafas panjang.
“Apa Om Tegar akan
menggantikan posisi Papa di hati Mama?” tanya Pipiet to the point diantara isak tangis yang masih terdengar satu-satu.
“Om Tegar orangnya
baik, sayang. Istrinya juga telah meninggal. Sekarang dia bekerja di sebuah
kapal pelayaran milik asing.”
Dalam keterkejutan, Mama tetap mencoba memberikan jawaban bijak kepada
putri tersayangnya yang tengah dalam masa pertumbuhan itu.
“Tapi dia akan menjadi
Papa tiri Pipiet kan, Ma?” mata Pipiet tajam mengarah ke sang Mama.
“Sayang, cinta Mama
pada Pipiet tetap akan utuh tak terbagi sedikitpun. Mama janji!”
Mama terus mencoba membujuk Pipiet. Dalam hatinya timbul perasaan
bersalah karena menyembunyikan semua tentang Tegar dari Pipiet. Lalu lembut ditariknya
tubuh Pipiet yang telah basah kuyup ke dalam pelukannya.
“Pipiet benci hujan!
Benci!” tiba-tiba Pipiet berteriak dan berdiri, mencampakan pelukan Mama.
“Pipiet!” suara Mama
terdengar parau.
“Pipiet benci hujan,
Tuhan! Hujan yang bawa Papa dan Mas Edo pergi! Hujan yang buat mata kanan
Pipiet jadi juling! Dan kini apa lagi?” teriak Pipiet lantang.
“Mirna!” seorang lelaki
tiba-tiba hadir menghampiri Mama.
“Mas Tegar!” jerit Mama
kaget.
Bagaimana tidak terkejutnya wanita empat puluh tahun yang masih nampak
cantik itu begitu melihat sang kekasih yang dalam keadaan kepala terbalut
perban dan kaki yang terpincang-pincang, kini telah berada dalam guyuran deras
hujan bersama dirinya dan anaknya.
Pipiet menolehkan kepalanya ke arah pemilik suara bariton. Dalam keadaan
mata yang agak samar karena air hujan, tiba-tiba Pipiet teringat pada sosok
itu. Bukankah dia itu sang pengendara motor yang beberapa waktu lalu
menyodorinya sapu tangan warna biru muda di depan sekolah?
“Aaaah!!” Pipiet
kembali berteriak. “Mengapa hujan bawa Papa baru untuk Pipiet, Tuhan?!”
Dan Pipiet pun berlari menerobos pekat dalam rinai hujan yang
menggigilkan malam, meninggalkan Mama dan Om Tegar yang masih berdiri terpaku
di trotoar jalan.(*)
T a m a t
0 comments:
Post a Comment