Maafkan Cinta
Oleh. Ning Sehati
Terpegun
kumenatap tirus wajah lelaki muda ini. Terbaring tak berdaya dengan mata
tertutup, meski tak begitu rapat, aku yakin dia tengah menahan derita. Hidungnya
mancung, tulang wajah kekar menunjukkan keras sifatnya. Ada sedikit senyum tersungging
dibibirnya. Sudah hampir satu jam aku berdiri disamping ranjangnya tapi belum
juga dia terbangun. Kulirik SEIKO hitam putih yang melingkar dipergelangan
tangan kananku, beberapa menit ke depan jam bezuk akan segera berakhir. Hatiku
semakin diliputi keresahan. Apalagi pihak keluarga tak banyak membantu memuaskan
rasa ingin tahuku tentang sakit Reza. Mereka hanya bilang kalau Reza mengalami
demam yang tinggi sebelum akhirnya dilarikan ke rumah sakit ini, dua hari lalu.
Benar-benar buatku penasaran.
“Maaf,
jam bezuk telah berakhir, silahkan anda keluar meninggalkan ruangan ini!”
suara suster mengejutkanku.
Ah, kenapa waktu begitu cepat melaju, belum puas
rasanya hanya sekedar memandang fisik lemah Reza tanpa sepatah katapun keluar
dari mulut kami. 'Ana pamit dulu ya, insha allah kita akan berjumpa lagi, akhy' bisikku kelu tak yakin. Terasa berat kaki melangkah meninggalkan kamar putih
berukuran empat kali empat meter persegi ini. Terakhir sebelum melangkah
keluar, masih sempat ku menoleh ke arah Reza. Dia masih terlelap.
Ffffuuuuuiiiiihh... desahku lirih.
Tak
hendak segera pergi, ku letakkan pantatku di kursi kayu panjang yang berada
diluar kamar. Kepalaku tiba-tiba berdenyut tak karuan. ‘Ya Allah, jangan ambil
nyawa Reza, dia masih terlalu muda untuk tinggalkan dunia, beri dia kesempatan
untuk merasakan indahnya anugerah-Mu sedikit lebih lama lagi!’. Tak henti
batinku melantunkan doa-doa kepada Sang Khaliq.
Suara
lantunan adzan maghrib menyentak heningku. Tanpa banyak ragu, kali ini bergegas
kuayunkan langkah mencari asal suara. Tepat dibelokan pintu keluar rumah
sakit, ada sebuah mushola yang nampak asri. Beberapa sandal dan sepatu telah
berjejer rapi di depan pintu masuk. Alhamdulillah diberi kesempatan berjama’ah,
betapa rindunya diri ini melaksanakan ibadah wajib yang satu ini secara bersama
seperti saat ini. Bertahun-tahun hidup di negeri orang, Hong Kong, hanya ada
kesempatan berjamaah disaat pelaksanaan sholat Ied saja. Iqomat dikumandangkan,
sesaat berusaha melupakan tentang Reza, ku coba untuk khusyuk ikuti imam yang
memimpin.
Selesai
salam, sholat dilanjut dengan zikir dan doa. Imam melanjutkan dengan mengucap
salam serta sholawat kepada junjungan Baginda Rasulullah. Agaknya beliau hendak
menyampaikan tauziyah. Segera kuhapus sisa-sisa air mata yang sempat membanjiri
mukaku. Meski kurang konsentrasi tapi aku mencoba membujuk hati untuk
memperhatikan setiap kalimat santun sarat nasehat yang keluar dari mulut lelaki
paroh baya itu.
“Ingat
ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian, kematian adalah salah satu rahasia besar
Allah. Malaikat pencabut nyawa sehari 70 kali datang melawat kita. Kematian
begitu dekat dengan kita, bila sudah tiba waktunya, tak ada tempat untuk kita
berlari sembunyi dan menghindar…”.
Jiwaku begitu tersentak mendengar kalimat
yang disampaikan dengan intonasi penuh ketegasan ini. Ya Allah, betapa bodohnya
hamba-Mu ini yang masih saja tak mengindahkan berbagai peringatan. Masih saja
hamba bermaksiat pada-Mu. Masih saja hamba duakan Engkau dengan membiarkan
benih-benih cinta tumbuh pada seorang manusia yang bukan kekasih halal hamba.
Astagfirullah hal adzim! Hamba telah berzina hati selama ini. Hamba lupa
bahwa Engkau-lah yang harus hamba cintai. Hamba sering melalaikan-Mu dengan lebih
banyak mengingat lelaki yang tidak sepantasnya bayangan dirinya bercokol dalam pikiran
hamba. Hamba telah khilaf, Ya Rabb! Ampuni hamba... ampuni hamba... ampuni
hamba...
***
Beberapa
hari yang lalu, masuk inbok dari Yuni, sahabat Reza. Dia mengabarkan kondisi
Reza yang tengah sakit keras. Sontak hatiku resah tak karuan, aku ingat
terakhir komunikasi, kami sempat memanas karena aku ingin memutuskan hubungan
terlarang ini setelah banyak belajar tentang ilmu agama di majlis taklim yang
aku ikuti sejak kuputuskan untuk istiqomah menutup aurat dengan sempurna. Ya,
apapun namanya berkhalwat adalah haram, jauh jarak membentang apalagi yang
dekat depan mata. Namun kini lelaki yang
kukenal dan mulai menjalin keakraban lewat jejaring sosial facebook setahun
yang lalu itu, tengah didera ujian sakit. Tanpa pikir panjang, kutemui
majikan dan meminta ijin untuk pulang cuti ke tanah air selama sepekan. Dan
tengah hari tadi aku mendarat di Bandara Kualanamu, Medan. Dengan bantuain
sedikit informasi dari Yuni, berhasil juga kutemukan alamat rumah sakit umum kota
tempat Reza dirawat. Kebimbangan yang terus mengikuti disepanjang perjalanan
semenjak meninggalkan Hong Kong, masih saja terasa sampai malam ini. Istighfar
terus terucap membasahi bibirku.
‘Ya Allah, aku mencintai-Mu dan aku lebih
memilih-Mu, maka kuputuskan hubungan dengan Reza karena berharap rahmat
dari-Mu. Aku percaya jodoh ditangan-Mu. Kau Sang Pemilik hati kami. Hamba
datang kesini bukan untuk mengkhianati-Mu. Hamba hanya ingin melawat Reza yang
tengah Kau beri rahmat sakit ini. Ku mohon, kembalikanlah nikmat sehatnya,
pulihkan dia seperti sedia kala. Hamba janji tak akan lagi mengusik hidupnya
sebelum Kau ijinkan kami syah bersatu dalam restu-Mu. Hamba mohon...'
'Assalamu’alaikum, Akhy. Afwan ana harus pergi
tak bisa berlama-lama disini menunggu sampai akhy terjaga dari tidur. Ana dah
titipkan akhy pada Allah. Bukan maksud hati tega tinggalkan akhy yang tengah
sakit, tapi apa kan daya, ana takut kita berdua terjebak dosa semakin dalam.
Doa ana untuk kesembuhan akhy. Bila ada ijin-Nya, semoga kita dipertemukan
dalam sebuah ijab qabul agar halal hubungan ini. Agar lebih leluasa untuk ana
merawat akhy. Sekali lagi afwan ya, akhy. Ana mencintai akhy tapi ana lebih
mencintai Sang Pencipta… Afwan'.
Tak kuasa melanjutkan rangkaian kata-kata,
segera kukirim pesan via whatsApp ke nomer pribadi Reza.
***
‘Maafkan
aku, ukthy! Aku juga mencintaimu, mencintai agama yang ada padamu. Aku tak
ingin hilang cinta ini hanya karena kau hilangkan agamamu dengan terus
mencintaiku tanpa kepastian, tanpa ikatan resmi. Maafkan aku yang belum kuasa
untuk datang menemui keluarga ukthy di Jawa untuk mengkhitbah. Semoga ukthy
mampu bersabar karena disinipun aku akan tetap berjuang melawan sakitku. Semoga
Allah berkenan perpanjang usiaku, semoga juga Allah berkenan pertemukan kita
dipelaminan. Semoga... ya, ukthy J’
Air mata
ku berderai membaca balasan whatsApp Reza. Menuruti nafsu, ingin aku berlari
kembali datang menemuinya. Tapi pesawat Garuda Airlines telah siap
menerbangkanku menuju Bandara Juanda Surabaya. Akhirnya hanya lantunan
istighfar tiada henti yang bisa kulakukan untuk meredam segala rasa di dada.
Astagfirullaah hal adzim… Astagfirullaah hal adzim… Astagfirullaah hal adzim…
***
Juara 3 Lomba cerpen Islami FKMPU dan dimuat di buletin Tazkiyah Edisi 73 Maret 2014
4 comments:
medan mbak ning...
pingin kesana kapan2 :-)
hehehehehe suka dengan ending-nya :)
Mbak Eti, kisah ini mirip dengan ku.
Post a Comment