Sunday 16 November 2014

Pipiet Dan Hujan





Hujan masih saja mengguyur bumi, membasahai setiap sudut kota. Air nampak menggenang di beberapa tempat, menyisakan pemandangan yang kurang sedap dipandang mata. Becek!

“Huh!” Pipiet menjerit kecil.

Sebuah mobil tua melaju dengan kencang melewati gerombolan anak-anak berseragam biru putih yang tengah berjalan berjingkas menghindari genangan-genangan air.

Pipiet, seorang gadis kecil berperawakan agak kurus, kembali menggerutu meyadari rok biru selutut yang dikenakannya kini telah menjadi basah tak hanya oleh air hujan tapi juga ditambah cipratan lumpur!

“Aduh! Gimana nih?” tanya Pipiet kepada kawan-kawan yang mengitarinya.

“Waktu kita tidak banyak, lagipula sekolah juga sudah dekat. Kamu nggak mungkin pulang kembali dan berganti rok, Piet!” ujar Sella sambil melirik ke arah jam tangan merah muda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

“Nanti sampai sekolah, cukup dibersihkan dengan air bersih. Lama-lama juga bakal kering sendiri koq!” Mega turut menimpali sambil membetulkan gagang kaca mata yang bertengger menghias wajah bulatnya.

Dengan wajah yang masih dilipat-lipat, Pipiet mengangguk saja dengan saran Mega, sahabatnya sejak duduk di sekolah dasar. Lantas dia segera berlari kecil menyusul yang lain yang telah menyeberang jalan. 

Sebuah bangunan sekolah berdiri megah tak jauh dari situ. SMPN Asah Asih Asuh, tempat Pipiet cs memulai status mereka sebagai pelajar sekolah mengah pertama seminggu yang lalu.

Sungguh awal hari yang menyebalkan!

***
            
Langit kian gelap. Hujan yang sempat reda beberapa waktu lalu, kini satu per satu airnya mulai jatuh kembali ke muka bumi. Pipiet melirik jam tangannya, hampir jam tiga. Sekolah sudah sepi, kendaraan para guru pun sudah tak nampak berjejer di parkiran. Mega, Sella dan kawan karib Pipiet yang lain mungkin kini sudah pada asyik meringkuk dalam selimut mereka, menikmati istirahat siang.

Pipiet sedikit memanyunkan mulutnya. Apalagi ketika dilihat beberapa kakak kelas yang tadi juga ikut rapat, cuek bebek kepadanya, tak ada satupun yang berbasa-basi menawarinya untuk sekedar pulang sekolah bersama.

Dengan langkah gontai, perlahan Pipiet meninggalkan pelataran sekolah. ‘Sebagai aktivis sekolah, aku harus mulai bisa sendiri! Ya, harus bisa!’ tekad Pipiet dalam hati. ‘Ah, Mega, kenapa pula kamu malas kalau aku ajak mengikuti kegiatan!’ Pipiet mengeluh sambil ujung kakinya iseng menendang sebuah kaleng bekas.

“Auw!!” tiba-tiba Pipiet menjerit.

Refleks kakinya bergerak mundur beberapa jengkal. Kaleng bekas yang ditendangnya tadi tanpa sengaja mengenai sebuah motor yang melaju dengan kecepatan sedang dari arah belakang. Dan sekali lagi, kejadian seperti pagi tadi, Pipiet terciprat genangan air bercampur lumpur untuk yang kedua kali!

“Aduh, maaf ya, Dek! Saya beneran nggak sengaja,” sang pengendara motor tiba-tiba sudah berdiri di depan Pipiet.

Pipiet menggerutu sambil tangannya sibuk membersihkan rok dan kakinya yang kotor. Tak dipedulikannya permintaan maaf  dari lelaki separuh baya itu.

“Nih pake sapu tangan Om saja, Dek!” ujar lelaki itu sambil mengulurkan sapu tangan warna biru muda ke arah Pipiet.

Secepat kilat tanpa malu-malu, Pipiet meraih sapu tangan itu dan lantas dengan sekenanya menggunakan untuk mengelap sepatu hitamnya!

Sang lelaki yang masih setia berdiri memperhatikan gerak-gerik Pipiet, meringis tipis. ‘Dasar, ABG! Semoga saja kekasih Om tidak mengetahui akan hal ini!’ batinnya pilu memandangi sapu tangan yang telah berubah warna. Kotor!

***

Petir menggelegar, memecah keheningan malam. Pipiet terperanjat dari tidurnya ketika tiba-tiba kamarnya menjadi gelap gulita.

“Mama!” teriak Pipiet ketakutan.

Sepi, tak ada sahutan suara dari arah luar kamar. Dengan meraba-raba akhirnya tangan Pipiet berhasil menemukan telepon genggam yang tergeletak di atas meja belajar. Bergegas dipencetnya angka-angka, diletakkannya telepon genggam di telinga kanan.

Tuuut… tuuut…

Tak ada sahutan. Bahkan untuk sekian kali panggilan yang Pipiet lakukan pada sebuah nomer, masih saja tak terjawab.

‘Aduh! Mama kemana sih?’ tanya Pipiet pada dirinya sendiri.

Beep… beep…

Telepon genggam Pipiet bergetar. Sebuah pesan masuk. Bergegas Pipiet meraih benda kecil yang tadi sempat dilemparkannya begitu saja di atas kasur lantaran geram.

‘Maaf, sayang! Mama sedang di RS Bakti Bangsa, tidak bisa menjawab telpon.’

Rumah Sakit? Ngapain malam-malam begini Mama disana ya? Siapa yang sakit? Mama?

Sekian pertanyaan bermain-main di benak Pipiet. Dicobanya berkali-kali untuk memejamkan mata, tapi sia-sia saja karena rasa ngantuk seolah telah pergi entah kemana. ‘Apa yang harus aku lakukan sekarang?’ Hati Pipiet kian resah tak karuan. Hujan dan Rumah Sakit Bakti Bangsa!

‘Ah, aku nggak boleh diam saja begini. Aku harus mencari tahu apa yang sedang terjadi!’

Otak cerdas gadis berkaca mata minus dua itu segera bekerja. Disambarnya jaket yang menggantung di belakang pintu. Dikenakannya sandal jepit yang teronggok pasrah di sudut ruangan. Dalam keadaan remang-remang, dibongkarnya isi lemari. Selang beberapa menit kemudian sebuah jas hujan warna kuning muda telah berada di tangannya. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, bergegas Pipiet berlari keluar rumah.

***

Hujan deras masih setia menemani perjalanan Pipiet menuju rumah sakit. Mulut Pipiet tak henti berkomat-kamit melantunkan macam-macam doa. Tiba-tiba saja hati Pipiet menjadi sangat tidak enak. Ditambah dengan keadaan jalan yang agak macet, membuat taksi yang membawanya tak bisa berjalan dengan lebih cepat.

Hujan! Pipiet begitu membenci keadaan ini. Membuat segala kegiatan menjadi terhambat. Mau ngapa-ngapain jadi tidak bisa berjalan lancar seperti ketika hari cerah. Belum lagi jalanan yang menjadi becek atau trotoar yang penuh sesak dengan payung-payung para pengguna jalan yang dibuka lebar seenaknya sendiri.

Huh!

Hujan juga telah meninggalkan sebuah kenangan pahit dalam perjalanan hidup Pipiet. Kejadian lima tahun lalu itu masih terekam kuat dalam memori Pipiet.

Pagi itu langit tengah mendung. Mas Edo yang kala itu masih duduk di bangku kelas 6 SD, tengah bersiap untuk mengikuti acara perkemahan. Waktu telah menunjukkan hampir pukul tujuh. Papa yang terlambat bangun karena semalam pulang kerja menjelang pagi buta, ikut kelabakan. Tak seperti biasa, entah kemana pergi Pak Har, tukang ojek langganan yang biasa mengantar Mas Edo dan Pipiet berangkat sekolah.

Akhirnya dalam keadaan tergesa-gesa, mereka bertiga berangkat meninggalkan rumah. Namun baru sekian meter mobil melaju, tiba-tiba hujan deras mengguyur. Jalanan menjadi gelap dan sedikit ricuh.

Beberapa menit kemudia tanpa diduga dari arah berlawanan muncul sebuah mobil boks yang berjalan terseok-seok, mungkin karena jalanan yang menjadi licin atau mungkin juga karena sopir telah kehilangan kendali akibat rem blong.

Braaaaaaaaaakkkk!

Kecelakaan pun tak dapat dihindari. Mobil yang dikendarai Papa, Pipiet dan Mas Edo tertabrak mobil boks. Hal terakhir yang Pipiet ingat setelah suara dentuman yang keras adalah suara jeritan orang-orang yang melihat kejadian itu, selanjutnya entah, Pipiet tak sadarkan diri.

***

Begitu terjaga, Pipiet sudah berada dalam sebuah ruangan serba putih. Semerbak bau obat-obatan segera menyergap hidung Pipiet. Rupanya Pipiet ada di salah satu kamar rawat rumah sakit.

Papa? Mas Edo? Dimana mereka?

Dalam keadaan setengah sadar, Pipiet merasa kepalanya seperti berputar-putar. Lantas ia meraba kepala dan tangannya terhenti pada bagian wajah. Sebuah perban menutup mata sebelah kanannya.

“Pipiet! Kamu sudah sadar, sayang?” tiba-tiba Mama masuk kamar dan menghambur ke arah tubuh Pipiet yang tergeletak lemah di atas ranjang.

“Ada apa ini, Ma? Kenapa mata Pipiet dibungkus begini?” tangan Pipiet menggenggam erat tangan Mama yang tak kuasa menahan tangis. “Papa dan Mas Edo mana, Ma?” tanya Pipiet polos.

“Kamu istirahat dulu ya, sayang! Jangan mikir yang berat-berat dulu!” ujar Mama sambil mengusap matanya yang sembab. Sejurus kemudia lembut dikecupnya kening sang bungsu.

Pipiet kecil hanya mampu menganggukkan kepalanya yang terasa kian berat. Selanjutnya Pipiet kembali terlelap.

***

“Mama!” suara Pipiet tercekat.

Sebuah pemandangan yang sangat mengejutkan hati Pipiet menyambut begitu pintu terbuka. Dilihatnya Mama tengah memeluk tubuh seorang lelaki yang tengah berbaring di atas ranjang berseprei putih polos.

Braaakk!

Pipiet membanting pintu dan segera berlari pergi meninggalkan kamar. Hati gadis muda itu begitu bergemuruh. Ada semacam perasaan tidak suka menyusup ke dalam hatinya.

Apa-apaan ini, Tuhan?

“Sayang…” tiba-tiba suara lembut Mama hadir di antara suara hujan.

Tangan Mama mengusap rambut Pipiet yang terduduk dengan kepala tertelungkup di tepian trotoar depan rumah sakit. Mama mengarahkan payung yang dibawanya menutupi tubuh Pipiet yang tampak terguncang. Isak tangis Pipiet kian terdengar nyaring.

“Siapa dia, Ma?” tanya Pipiet sesaat setalah ia mampu sedikit menguasai hatinya yang begitu gundah.

Lima tahun Pipiet habiskan hari-harinya berdua bersama Mama saja sejak kepergian Papa dan Mas Edo untuk selama-lamanya akibat kecelakaan hari itu. Haruskah kini ia rela berbagi kasih Mama? Atau bahkan kemungkinan lebih parah, sanggupkah ia kehilangan Mama juga?

“Namanya Om Tegar. Dia kawan kuliah Mama dulu. Kami berjumpa kembali setahun yang lalu di acara reuni akbar kampus…” Mama diam sejenak, menghela nafas panjang.

“Apa Om Tegar akan menggantikan posisi Papa di hati Mama?” tanya Pipiet to the point diantara isak tangis yang masih terdengar satu-satu.

“Om Tegar orangnya baik, sayang. Istrinya juga telah meninggal. Sekarang dia bekerja di sebuah kapal pelayaran milik asing.”

Dalam keterkejutan, Mama tetap mencoba memberikan jawaban bijak kepada putri tersayangnya yang tengah dalam masa pertumbuhan itu.

“Tapi dia akan menjadi Papa tiri Pipiet kan, Ma?” mata Pipiet tajam mengarah ke sang Mama.

“Sayang, cinta Mama pada Pipiet tetap akan utuh tak terbagi sedikitpun. Mama janji!”

Mama terus mencoba membujuk Pipiet. Dalam hatinya timbul perasaan bersalah karena menyembunyikan semua tentang Tegar dari Pipiet. Lalu lembut ditariknya tubuh Pipiet yang telah basah kuyup ke dalam pelukannya.

“Pipiet benci hujan! Benci!” tiba-tiba Pipiet berteriak dan berdiri, mencampakan pelukan Mama.

“Pipiet!” suara Mama terdengar parau.

“Pipiet benci hujan, Tuhan! Hujan yang bawa Papa dan Mas Edo pergi! Hujan yang buat mata kanan Pipiet jadi juling! Dan kini apa lagi?” teriak Pipiet lantang.

“Mirna!” seorang lelaki tiba-tiba hadir menghampiri Mama.

“Mas Tegar!” jerit Mama kaget.

Bagaimana tidak terkejutnya wanita empat puluh tahun yang masih nampak cantik itu begitu melihat sang kekasih yang dalam keadaan kepala terbalut perban dan kaki yang terpincang-pincang, kini telah berada dalam guyuran deras hujan bersama dirinya dan anaknya.

Pipiet menolehkan kepalanya ke arah pemilik suara bariton. Dalam keadaan mata yang agak samar karena air hujan, tiba-tiba Pipiet teringat pada sosok itu. Bukankah dia itu sang pengendara motor yang beberapa waktu lalu menyodorinya sapu tangan warna biru muda di depan sekolah?

“Aaaah!!” Pipiet kembali berteriak. “Mengapa hujan bawa Papa baru untuk Pipiet, Tuhan?!”

Dan Pipiet pun berlari menerobos pekat dalam rinai hujan yang menggigilkan malam, meninggalkan Mama dan Om Tegar yang masih berdiri terpaku di trotoar jalan.(*)

T a m a t







0 comments:

Post a Comment

 
;